Senin, 17 November 2008

Signifikansi Sufisme di Tengah Kapitalisme

Tak bisa dipungkiri, salah satu trend ekspresif zaman sekarang adalah adanya dinamika sosial yang cepat akibat kecanggihan teknologi post industri era ini. Deru modernitas telah mengubah kehidupan sebegitu jauh melangkah dan melesat melampaui zaman sebelumnya. Namun, dinamika modernitas selalu membawa ambivalensi. Dalam hubungan ini, menarik kita simak bagaimana Giddens menggambarkan modernitas, seperti dikutip oleh George Ritzer (2004: 240); “Sebuah mesin yang berlari cepat dengan tenaga yang sangat besar, yang secara kolektif sebagai manusia, kita dapat menungganginya pada batas yang luas namun juga dapat melaju tak terkendali dan dapat menghancurkan dirinya sendiri. Lokomotif ini menggilas siapapun yang menahannya, dan kadang sepertinya ia memiliki jalur yang mantap, ada masanya ia keluar jalur secara tak menentu arahnya di mana kita tak dapat meramalnya. Perjalanan tersebut dengan demikian tidak selalu menyenangkan dan membawa hasil; terkadang dapat menjadi menyenangkan dan membawa hasil, namun sejalan dengan bertahannya institusi-institusi modernitas kita tidak dapat mengendalikan dengan sepenuhnya baik jalur maupun laju perjalanannya. Akibatnya, kita tidak dapat merasa sepenuhnya aman, karena medan yang dilaluinya penuh resiko dan konsekwensi yang tinggi.”
Di sisi lain, makin mengguritanya kehidupan kapitalistik dewasa ini, kepercayaan orang pada dunia materi kian memuncak. Hal itu, menurut wacana posmodernisme, terjadi lantaran makin terbukanya hasrat-hasrat secara bebas. Ia menemukan kanal-kanal pelepasannya: lewat kanal ekonomi, yang menciptakan ‘ekonomi libido’; lewat kanal politik, yang menciptakan ‘politik hasrat’; lewat kanal komunikasi yang menciptakan ‘ekstasi komunikasi’; lewat kanal media, yang menciptakan ‘ketelanjangan media’. Menurut Yasraf Amir Piliang (2000: 57), meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, setidaknya ada 2 hal yang mendominasi, dan itu beroperasi secara signifikan dalam masyarakat postmodern. Pertama, hasrat ‘menjadi’ (to be), yaitu hasrat menjadi obyek cinta --kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan-- dari orang lain (the others), misalnya penonton, fans, rakyat, dan masyarakat. Kedua, ‘hasrat memiliki’ (to have), yaitu hasrat memiliki sesuatu (materi, orang, kekuasaan) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri. Hasrat memiliki merupakan fondasi masyarakat postmodern, yang dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk menginginkan berbagai macam benda dan kebutuhan, yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini kapitalisme global merubah keinginan (want) menjadi kebutuhan (need). Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga memproduksi dorongan hasrat dibaliknya untuk keberlanjutan produksinya. Inilah wacana libidonomics.

Krisis peradaban modern yang merupakan produk dari Barat, ternyata Barat sendiri yang paling merasakan khususnya berkaitan dalam bentuk krisis lingkungan hidup, yang hingga kini belum terpecahkan. Bahkan, usul-usul yang diajukan untuk memecahkan krisis ini menjadi faktor tambahan yang membawa pada krisis lebih lanjut. Dalam kerangka pemecahan krisis itu, orang dihimbau untuk mengendalikan hawa nafsu, menjadi humanis-rasional, tetapi sedikit sekali diantara mereka yang menyadari bahwa seruan itu mustahil dijalankan selama tidak ada kekuatan ruhaniyah untuk menguasai kecenderungan-kecenderungan merusak atau melampaui batas itu. Menurut Hossein Nasr, seperti dinyatakan Azyumardi Azra (2002: 196), problem paling akut yang dihadapi manusia sekarang tidaklah muncul dari situasi under development, tetapi justru dari over development.
Munculnya kesadaran terhadap krisis semacam ini mendorong terjadinya pergeseran pandangan dari unlimited possibility for development, dalam pengertian fisik dan material, menjadi limits to growth. Karenanya ia mengkritik, manusia modern memperlakukan alam seperti pelacur; mengambil manfaat dan kepuasan darinya tanpa rasa tanggungjawab yang memadai.
Pada segi yang lain, wacana politik, ekonomi, sosial, budaya, dan media dalam masyarakat global memiliki kecenderungan yang mirip: ia kehilangan perannya sebagai pembawa nilai-nilai moral. Yang justru dibawa, sengaja ataupun tidak, adalah semangat dekonstruksi moral, yang menghasilkan antagonisme moral dan kerancuan moral. TV misalnya, membiarkan kontradiksi moral beroperasi di dalam dirinya sendiri --mengajarkan ibadah khusyu’ di pagi hari, lalu menyuguhkan tampilan mengumbar nafsu di siang hari; menanamkan rasa kasih sayang di siang hari, lalu menyajikan kebrutalan di malam hari--. Televisi, dengan demikian, mengkonstruksi secara sosial figur skizofrenia dalam tubuh dalam urat-urat kejiwaan masyarakat, figur-figur tanpa identitas, tanpa konsistensi.

Dengan demikian, masyarakat dalam budaya global berada dalam situasi paradoks. Di satu pihak, budaya global telah membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya nuansa dan citra, akan tetapi di pihak lain ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan berkembang tanpa kendali, yang berjalan menurut logika hasratnya sendiri. Ia menjadi sebuah dunia, yang di dalamnya manusia kehilangan arah tujuan. Dalam kondisi demikian, agama berpeluang untuk ambil bagian dalam usaha mengembalikan dinamika manusia kepada arahnya yang wajar. Namun tentu saja yang dimaksud adalah agama dalam aspeknya yang paling dalam, yaitu sufsime, sebagai bentuk esoteris Islam.

Secara doktriner, seperti dijelaskan oleh Javad Nurbakhsy (1998:7), kaum sufi dengan tegas menganggap bahwa hakekat realitas bersifat spiritual, karena segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang berwujud spiritual. Artinya, realitas merupakan perwujudan ‘hasrat lebih tinggi’, yang diarahkan kepada sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya, realitas yang terbentuk sebagai perwujudan ‘hasrat-hasrat rendah’ (nafs, dalam tingkatan terendah, al-ammarah bi al-su’) dianggap sebagai ‘ilusi’ atau realitas ‘palsu’. Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya pemuasan diri sedniri, meskipun kepuasan tersebut tak akan pernah terpenuhi (Al-Hujwiri, 1994:17). Salah satu alasan mengapa hasrat tak pernah terpuaskan dan selalu mencari pelepasan-pelepasan baru adalah disebabkan ia ingin selalu dipuja. Hasrat selalu menggiring manusia ke dalam apa yang dikatakan dalam terminologi psikoanalisis sebagai the culture of narcissism, manusia yang selalu mencari ketenaran, popularitas, dan publisitas dirinya sendiri. Kaum sufi, sebaliknya, tidak mencari-cari ketenaran tersebut. Mereka “menyembunyikan diri dalam jubah kerendah-hatian untuk mencapai kemuliaan. Mereka tidak ingin dikenal atau dimuliakan”.

Doktrin sufisme menegaskan, nafs merupakan sumber dari segala tindakan jahat dan tercela; sumber dari pelanggaran etika. Nafs tanpa henti-hentinya mendorong pemuasan nafsunya melebihi batas yang diperbolehkan. Akan tetapi, karena tidak pernah terpuaskan dan cepat merasa bosan, ia selalu berpindah dari satu kepuasan ke kepuasan lainnya tanpa akhir. Ia menjadi sebuah mesin hasrat (desiring machine) yang secara terus menerus mencari obyek kepuasan baru. Meskipun cenderung mambawa sifat-sifat rendah, bagi sufisme, hasrat rendah nafs tersebut bukan untuk dilenyapkan. Ia hanya perlu dijinakkan, dikendalikan, atau dimurnikan dari sifat rendah materi, sehingga mampu mencapai kedudukan yang lebih tinggi menuju nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang di sisi Tuhan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inti ajaran-ajaran sufisme adalah pengendalian mesin-mesin hasrat yang memproduksi berbagai bentuk hasrat tak terbatas pada diri setiap orang yang dikuasainya.

Karena itu, solusi yang hendak ditawarkan sufisme akan sulit diterima khalayak jika bersifat anti materi. Memalingkan masyarakat dari segala bentuk materi, di tengah dunia yang justru sangat tergantung pada materi (teknologi, industri, komunikasi, pendidikan, kesehatan) adalah sesuatu yang amat sulit dan terasa mustahil. Maka tugas sufisme di era global adalah meminimalisir berbagai paradoks masyarakat postmodern itu sendiri, melalui penyucian berbagai wacanya dari sifat-sifat dualistik, ketidakpastian, kekaburan, dan ekstrimitas. Tampaknya banyak orang setuju, meskipun berat dipraktekkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mencegah kehancuran umat manusia yang diakibatkan oleh hasratnya yang tak terbatas, adalah dengan mengendalikan pertumbuhan hasrat itu sendiri.

Di Barat, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!.

Akan tetapi yang terjadi dunia Islam tidaklah seperti itu, malah Organized Religion Yes, Spirituality Yes. Itulah fenomena yang kita lihat, terutama di Indonesia dan dunia Islam yang lebih luas. Spiritualitas itu tidak bisa tumbuh subur, dalam dunia Islam, kalau tidak berkaitan dengan Organized Religion, dalam hal ini adalah Islam. Kita bisa lihat, macam-macam spiritualitas yang umum, seperti meditasi, yoga, akan tetapi itu di dunia Islam kurang berkembang subur.

Apapun nama dan bentuknya, pencarian spiritual dan mistikal sesungguhnya bersifat perennial. Ini merupakan kewajaran dan kebutuhan yang natural dalam kehidupan manusia secara kolektif. Ketika masyarakat atau suatu kolektifitas manusia berhentimengakui kebutuhan yang nyata ini, dan ketika semakin sedikit manusia yang menyusuri jalan mistikal, pada saat itupula msyarakat tersebut akan goyang, atau bahkan ambruk ditimpa beban berat strukturnya. Ini akan terjadi sebagai akibat masyarakat menolak memberikan kepada anggotanya makanan yang dapat mengenyangkan ruhani yang lapar (Hossein Nasr, 1991:27).

Dalam pesrspektif sufisme, hakekat (realities) dunia ini terdiri dari dua aspek: al-zhahir (lahir, outward) dan al-bathin (batin, inward). Ini sesuai dengan dengan Tuhan yang di dalam al-Qur’an Allah menyebut dirinya sebagai Al-Zahir dan Al-Bathin. Dalam kerangka ini maka bentuk lahiriyah benda-benda bukanlah ilusi belaka; mereka mempunyai hakekat level mereka sendiri. Tetapi ini secara tidak langsung menyatakan adanya gerakan ke arah pemisahan dan pengunduran dari Principle yang ada di “pusat”, yang dapat diidentifikasi sebagai “yang batin”. Hidup pada tataran “lahir” an sich berarti sekedar mensyukuri eksistensi. Merasa puas semata-mata dengan “yang lahir” berarti mengkhianati watak manusia itu sendiri, yang mana ia tercipta dari roh suci yang tidak akan pernah mati. Tujuan eksistensi manusia adalah perjalanan dari outward ke inward, dari pinggiran (periferi) lingkaran eksistensi ke pusat transenden. Demikianlah kurang lebih inti dari pemikiran sufisme menyangkut eksistensi manusia dan arah perjalanannya.

Berdasarkan paradigma itu para pemikir sufisme mengelaborasi dangan sudut pandang masing-masing guna menjelaskan peran yang dapat dimainkan tasawuf. Kaum sufi klasik, sejak dari Al-Muhasibi hingga Al-Ghazali, banyak menyajikan tasawuf sebagai ilmu pembentukan pribadi luhur (akhlaq al-karimah), melalui konsep maqamat. (Media Zainul Bahri, 2005). Para pemimpin tarekat, sejak dari Shaykh Abdul Qadir al-Jilani hingga Syekh Khatib Sambas, lebih banyak mengedepankan fungsi tasawuf sebagai metode praktis mujahadah, riyadhah, muraqabah, dan dzikir, untuk mencapai derajat kedekatan pada Allah. Para pembaru muslim biasanya mengurai peran tasawuf untuk manusia dari perspektif filosofis dengan penekanan yang berbeda-beda. Iqbal memiliki cara pandang yang berbeda dengan Imam Khomeini, demikian juga Murtadha Mutahhari memiliki kacamata yang tidak sama Hossein Nasr.

Berbagai mistisisme telah berkembang mengatasi krisis global kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf, walaupun dari berbagai agama, bisa menyumbangkan wacana untuk berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans Kung dengan ''kebutuhan akan Etika global'' tampaknya bisa dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang paling dasar dari agamanya sendiri --the heart of religion, yaitu hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama. Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika global itu, perkembangan ''tasawuf antar-agama'' memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru.


Daftar Pustaka

Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthari dan Abdul Hadi WM (Bandung: Mizan, 1994).

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia, 2002).

George Ritzer, Teori Sosial Postmodern, terj. Muhammad Taufik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004).

Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998).

Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Menguarai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi (Jakarta: Prenada, 2005).

Said Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006).

Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany: State University of New York Press, 1991).

Yasraf Amir Piliang, “Fenomena Sufisme di Tengah Masyarakat Posmodern”, Al-Huda, Vol.1, No.2, 2000.

Tidak ada komentar: