Jumat, 07 November 2008

Sufisme Kota

Tasawuf belakangan ini telah banyak merambah kawasan perkotaan. Sebelumnya, kesan kuat menunjukkan tasawuf itu hanyalah diikuti kaum pedesaan, yang Islamnya kolot. Sekarang malahan kalangan birokrat dan profesional banyak tertarik ke dunia sufisme. Tak heran bila muncul istilah "sufi berdasi", atau istilah sejenis. Jika kita perhatikan sekarang ini banyak ritual-ritual seperti dzikir bersama yang menggema di kota-kota besar. Tidak hanya kota-kota kecil seperti Pekalongan, Gresik, Jombang, Tasikmalaya, tetapi juga kota di besar besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, bahkan Jakarta sebagai kawasan metropolis. Kaum kota tampak sekali merasa haus, bukan secara intelektual, tetapi secara spiritual. Tidak mengherankan jika diantara mereka banyak yang masuk kelompok-kelompok spiritual Islam, pengajian sufi, hingga menjadi pengikut tarekat. Mantan Ketua LIPI, Prof.Dr. Sofyan Tsauri contohnya adalah pengamal Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah. Di Bandung ada 2 guru besar yang juga pengikut tarekat. Demikian juga di sejumlah kota lain.
Insitusi tarekat makin kuat karena ditopang oleh masuknya kalangan terdidik dan kelas menengah. Penyebutan kelompok kelas menengah (middle class) ini terutama mengacu dalam segi tingkat ekonomi, status sosial, dan pendidikan. Berbagai fenomena pada masa kini menunjukkan cukup banyak kalangan kelas menengah yang secara sadar masuk menjadi pengamal ajaran suatu tarekat, tentu saja dengan beragam latar belakangnya. Ada faktor psikologis, dalam arti ada keinginan kuat untuk memperdalam pengalaman keagamaan, bukan sebagai pelarian, namun benar-benar tumbuh dari keinginan instrinsiknya. Ada faktor sosial, karena mereka mencari in group yang bisa menegaskan identitas keagamaannya sehingga mampu menjadi daya dukung yang kuat.
Dalam hubungan ini, satu pengakuan penting ditulis oleh H.J. Witteveen, yang juga peminat spiritualitas dan pengagum Hazrat Inayat Khan itu. Dalam bukunya Tasawuf in Action (2004:162), dia mengatakan; “Kita telah melihat bahwa keseimbangan antara aktifitas dan ketenangan yang dapat diberikan oleh praktek spiritual sangatlah penting bagi kesehatan dan daya tahan kita. Dampaknya, keseimbangan ini membantu kita untuk mempertahankan ritme yang tepat. Ritme adalah keseimbangan dalam waktu. Kesehatan kita sangat tergantung pada keteraturan denyut jantung kita dan sirkulasi darah kita. Dan hasil dari pekerjaan kita tergantung juga pada ritme yang tepat dari pikiran dan perasaan kita. Pikiran kita seharusnya tidak berjalan terlalu cepat dari satu ide ke ide lain atau stagnan dalam kekakuan. Dan suasana hati kita seharusnya tidak berubah terlalu cepat. Kita memerlukan ritme yang kreatif. Bekerja dalam ritme tersebut akan membuahkan hasil terindah.
Sebagai mantan Direktur IMF, dia juga mengeksplorasi sisi-sisi mendalam lain yang dapat diperankan sufisme untuk membangun kegiatan perekomian yang menyeimbangan keselarasan keuntungan materi dan keuntunan moral. Menurutnya, keseimbangan adalah konsep yang penting dalam ekonomi, tetapi keseimbangan yang yang terbaik tidak semata-mata dihasilkan dari kepentingan diri yang sempit dari semua partisipan ekonomi. Cita-cita spiritual akan membantu para pekerja di dunia agar tidak terperangkap semata dalam kekuasaan atau keuntungan. Bahkan, dengan tegas dia katakan bahwa tasawuf akan membawa perubahan mendasar dalam pengelolaan sistem-pasar kapitalis, dan ekonomi akan berfungsi dalam pola yang lebih spiritual.

Tidak ada komentar: