Minggu, 22 Februari 2009

SBY Kunjungi Pesantren Tarekat

Saya sering berkunjung ke Ponpes As-Salafi Kedinding Lor Surabaya, asuhan KH. Asrori Usman al-Ishaqi, yang juga mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah Al-Usmaniyah. Kawasan ini biasanya selalu ramai terutama hari minggu, karena saat itulah kaum TQN dari berbagai daerah berkumpul untuk mengadakan ritual bersama. Hanya saja kala itu agak lain. Saya lihat banyak terob besar dipasang seperti saat mau Haul Akbar. Ternyata aka nada tamu penting, yakni Presiden SBY. Maka 3 hari kemudian saya pun datang lagi untuk melihat langsung bagaimana prosesi kunjungan presiden.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono didampingi Ibu Negara Ani Yudhoyono hari Rabu (28/1) siang berada di Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah yang terletak di Jl. Kedinding Lor, kawasan Kenjeran, Surabaya. Presiden dan Ibu Negara berada di tengah belasan ribu masyarakat di pelosok utara kota Surabaya itu untuk menghadiri acara Peluncuran Program Bantuan Rehabilitasi Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah dan Pondok Pesantren, serta pemberian beasiswa untuk siswa madrasah ibtidaiyah, madrasah tsanawiyah dan madrasah aliyah se-Indonesia, yang merupakan program unggulan Departemen Agama.
Perwakilan Pondok Pesantren, Prof. Dr. Sofyan Sauri, dalam laporannya mengatakan, program pendidikan yang disediakan oleh Pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah merupakan program pendidikan yang dirancang untuk menghasilkan generasi intelektual yang berakhlak dalam menghadapi era globalisasi. Saat ini, pondok pesantren yang berada di tengah perkampungan padat penduduk ini menampung sekitar 2.000 orang santri, setengahnya tinggal di kompleks sekitar pesantren.Menurut Menteri Agama Maftuh Basyuni, pembangunan di bidang pendidikan di tahun 2009, memiliki arti yang sangat penting. Karena di tahun ini, alokasi anggaran dana pendidikan mencapai 20 persen, dan seluruh jajaran pemerintah berkomitmen untuk merealisasikan program Wajib Belajar 9 tahun. "Oleh karena itu, dengan momentum yang sangat penting ini, pemerintah berkomitmen untuk bekerja keras dalam melakukan pembangunan di bidang pendidikan. Kami yakin, dengan program yang terarah, harapan untuk memberikan pendidikan yang bermutu dan terjangkau bagi masyarakat, dapat tercapai," jelasnya.

Senin, 17 November 2008

Signifikansi Sufisme di Tengah Kapitalisme

Tak bisa dipungkiri, salah satu trend ekspresif zaman sekarang adalah adanya dinamika sosial yang cepat akibat kecanggihan teknologi post industri era ini. Deru modernitas telah mengubah kehidupan sebegitu jauh melangkah dan melesat melampaui zaman sebelumnya. Namun, dinamika modernitas selalu membawa ambivalensi. Dalam hubungan ini, menarik kita simak bagaimana Giddens menggambarkan modernitas, seperti dikutip oleh George Ritzer (2004: 240); “Sebuah mesin yang berlari cepat dengan tenaga yang sangat besar, yang secara kolektif sebagai manusia, kita dapat menungganginya pada batas yang luas namun juga dapat melaju tak terkendali dan dapat menghancurkan dirinya sendiri. Lokomotif ini menggilas siapapun yang menahannya, dan kadang sepertinya ia memiliki jalur yang mantap, ada masanya ia keluar jalur secara tak menentu arahnya di mana kita tak dapat meramalnya. Perjalanan tersebut dengan demikian tidak selalu menyenangkan dan membawa hasil; terkadang dapat menjadi menyenangkan dan membawa hasil, namun sejalan dengan bertahannya institusi-institusi modernitas kita tidak dapat mengendalikan dengan sepenuhnya baik jalur maupun laju perjalanannya. Akibatnya, kita tidak dapat merasa sepenuhnya aman, karena medan yang dilaluinya penuh resiko dan konsekwensi yang tinggi.”
Di sisi lain, makin mengguritanya kehidupan kapitalistik dewasa ini, kepercayaan orang pada dunia materi kian memuncak. Hal itu, menurut wacana posmodernisme, terjadi lantaran makin terbukanya hasrat-hasrat secara bebas. Ia menemukan kanal-kanal pelepasannya: lewat kanal ekonomi, yang menciptakan ‘ekonomi libido’; lewat kanal politik, yang menciptakan ‘politik hasrat’; lewat kanal komunikasi yang menciptakan ‘ekstasi komunikasi’; lewat kanal media, yang menciptakan ‘ketelanjangan media’. Menurut Yasraf Amir Piliang (2000: 57), meskipun bentuk-bentuk hasrat sangat kompleks, setidaknya ada 2 hal yang mendominasi, dan itu beroperasi secara signifikan dalam masyarakat postmodern. Pertama, hasrat ‘menjadi’ (to be), yaitu hasrat menjadi obyek cinta --kekaguman, idealisasi, pemujaan, penghargaan-- dari orang lain (the others), misalnya penonton, fans, rakyat, dan masyarakat. Kedua, ‘hasrat memiliki’ (to have), yaitu hasrat memiliki sesuatu (materi, orang, kekuasaan) sebagai sebuah cara untuk memenuhi kepuasan diri. Hasrat memiliki merupakan fondasi masyarakat postmodern, yang dilembagakan lewat sistem kapitalisme global. Di dalamnya, orang dikonstruksi secara sosial untuk menginginkan berbagai macam benda dan kebutuhan, yang sebetulnya secara hakiki tidak mereka butuhkan. Di sini kapitalisme global merubah keinginan (want) menjadi kebutuhan (need). Kapitalisme tidak hanya memproduksi barang-barang, tapi juga memproduksi dorongan hasrat dibaliknya untuk keberlanjutan produksinya. Inilah wacana libidonomics.

Krisis peradaban modern yang merupakan produk dari Barat, ternyata Barat sendiri yang paling merasakan khususnya berkaitan dalam bentuk krisis lingkungan hidup, yang hingga kini belum terpecahkan. Bahkan, usul-usul yang diajukan untuk memecahkan krisis ini menjadi faktor tambahan yang membawa pada krisis lebih lanjut. Dalam kerangka pemecahan krisis itu, orang dihimbau untuk mengendalikan hawa nafsu, menjadi humanis-rasional, tetapi sedikit sekali diantara mereka yang menyadari bahwa seruan itu mustahil dijalankan selama tidak ada kekuatan ruhaniyah untuk menguasai kecenderungan-kecenderungan merusak atau melampaui batas itu. Menurut Hossein Nasr, seperti dinyatakan Azyumardi Azra (2002: 196), problem paling akut yang dihadapi manusia sekarang tidaklah muncul dari situasi under development, tetapi justru dari over development.
Munculnya kesadaran terhadap krisis semacam ini mendorong terjadinya pergeseran pandangan dari unlimited possibility for development, dalam pengertian fisik dan material, menjadi limits to growth. Karenanya ia mengkritik, manusia modern memperlakukan alam seperti pelacur; mengambil manfaat dan kepuasan darinya tanpa rasa tanggungjawab yang memadai.
Pada segi yang lain, wacana politik, ekonomi, sosial, budaya, dan media dalam masyarakat global memiliki kecenderungan yang mirip: ia kehilangan perannya sebagai pembawa nilai-nilai moral. Yang justru dibawa, sengaja ataupun tidak, adalah semangat dekonstruksi moral, yang menghasilkan antagonisme moral dan kerancuan moral. TV misalnya, membiarkan kontradiksi moral beroperasi di dalam dirinya sendiri --mengajarkan ibadah khusyu’ di pagi hari, lalu menyuguhkan tampilan mengumbar nafsu di siang hari; menanamkan rasa kasih sayang di siang hari, lalu menyajikan kebrutalan di malam hari--. Televisi, dengan demikian, mengkonstruksi secara sosial figur skizofrenia dalam tubuh dalam urat-urat kejiwaan masyarakat, figur-figur tanpa identitas, tanpa konsistensi.

Dengan demikian, masyarakat dalam budaya global berada dalam situasi paradoks. Di satu pihak, budaya global telah membuka cakrawala dunia yang serba plural yang kaya nuansa dan citra, akan tetapi di pihak lain ia menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan berkembang tanpa kendali, yang berjalan menurut logika hasratnya sendiri. Ia menjadi sebuah dunia, yang di dalamnya manusia kehilangan arah tujuan. Dalam kondisi demikian, agama berpeluang untuk ambil bagian dalam usaha mengembalikan dinamika manusia kepada arahnya yang wajar. Namun tentu saja yang dimaksud adalah agama dalam aspeknya yang paling dalam, yaitu sufsime, sebagai bentuk esoteris Islam.

Secara doktriner, seperti dijelaskan oleh Javad Nurbakhsy (1998:7), kaum sufi dengan tegas menganggap bahwa hakekat realitas bersifat spiritual, karena segala sesuatu berasal dari Tuhan, yang berwujud spiritual. Artinya, realitas merupakan perwujudan ‘hasrat lebih tinggi’, yang diarahkan kepada sifat-sifat ketuhanan. Sebaliknya, realitas yang terbentuk sebagai perwujudan ‘hasrat-hasrat rendah’ (nafs, dalam tingkatan terendah, al-ammarah bi al-su’) dianggap sebagai ‘ilusi’ atau realitas ‘palsu’. Kecenderungan nafs adalah memaksakan hasrat-hasratnya dalam upaya pemuasan diri sedniri, meskipun kepuasan tersebut tak akan pernah terpenuhi (Al-Hujwiri, 1994:17). Salah satu alasan mengapa hasrat tak pernah terpuaskan dan selalu mencari pelepasan-pelepasan baru adalah disebabkan ia ingin selalu dipuja. Hasrat selalu menggiring manusia ke dalam apa yang dikatakan dalam terminologi psikoanalisis sebagai the culture of narcissism, manusia yang selalu mencari ketenaran, popularitas, dan publisitas dirinya sendiri. Kaum sufi, sebaliknya, tidak mencari-cari ketenaran tersebut. Mereka “menyembunyikan diri dalam jubah kerendah-hatian untuk mencapai kemuliaan. Mereka tidak ingin dikenal atau dimuliakan”.

Doktrin sufisme menegaskan, nafs merupakan sumber dari segala tindakan jahat dan tercela; sumber dari pelanggaran etika. Nafs tanpa henti-hentinya mendorong pemuasan nafsunya melebihi batas yang diperbolehkan. Akan tetapi, karena tidak pernah terpuaskan dan cepat merasa bosan, ia selalu berpindah dari satu kepuasan ke kepuasan lainnya tanpa akhir. Ia menjadi sebuah mesin hasrat (desiring machine) yang secara terus menerus mencari obyek kepuasan baru. Meskipun cenderung mambawa sifat-sifat rendah, bagi sufisme, hasrat rendah nafs tersebut bukan untuk dilenyapkan. Ia hanya perlu dijinakkan, dikendalikan, atau dimurnikan dari sifat rendah materi, sehingga mampu mencapai kedudukan yang lebih tinggi menuju nafs al-muthmainnah, jiwa yang tenang di sisi Tuhan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa inti ajaran-ajaran sufisme adalah pengendalian mesin-mesin hasrat yang memproduksi berbagai bentuk hasrat tak terbatas pada diri setiap orang yang dikuasainya.

Karena itu, solusi yang hendak ditawarkan sufisme akan sulit diterima khalayak jika bersifat anti materi. Memalingkan masyarakat dari segala bentuk materi, di tengah dunia yang justru sangat tergantung pada materi (teknologi, industri, komunikasi, pendidikan, kesehatan) adalah sesuatu yang amat sulit dan terasa mustahil. Maka tugas sufisme di era global adalah meminimalisir berbagai paradoks masyarakat postmodern itu sendiri, melalui penyucian berbagai wacanya dari sifat-sifat dualistik, ketidakpastian, kekaburan, dan ekstrimitas. Tampaknya banyak orang setuju, meskipun berat dipraktekkan, bahwa satu-satunya jalan untuk mencegah kehancuran umat manusia yang diakibatkan oleh hasratnya yang tak terbatas, adalah dengan mengendalikan pertumbuhan hasrat itu sendiri.

Di Barat, situasi krisis serupa, justru diiringi meningkatnya ketidakpercayaan pada institusi agama formal (a growing distrust of organized religion). Barangkali, ekstrimnya seperti dislogankan futurolog John Naisbitt bersama istrinya, Patricia Aburdene dalam Megatrend 2000, Spirituality Yes, Organized Religion No!.

Akan tetapi yang terjadi dunia Islam tidaklah seperti itu, malah Organized Religion Yes, Spirituality Yes. Itulah fenomena yang kita lihat, terutama di Indonesia dan dunia Islam yang lebih luas. Spiritualitas itu tidak bisa tumbuh subur, dalam dunia Islam, kalau tidak berkaitan dengan Organized Religion, dalam hal ini adalah Islam. Kita bisa lihat, macam-macam spiritualitas yang umum, seperti meditasi, yoga, akan tetapi itu di dunia Islam kurang berkembang subur.

Apapun nama dan bentuknya, pencarian spiritual dan mistikal sesungguhnya bersifat perennial. Ini merupakan kewajaran dan kebutuhan yang natural dalam kehidupan manusia secara kolektif. Ketika masyarakat atau suatu kolektifitas manusia berhentimengakui kebutuhan yang nyata ini, dan ketika semakin sedikit manusia yang menyusuri jalan mistikal, pada saat itupula msyarakat tersebut akan goyang, atau bahkan ambruk ditimpa beban berat strukturnya. Ini akan terjadi sebagai akibat masyarakat menolak memberikan kepada anggotanya makanan yang dapat mengenyangkan ruhani yang lapar (Hossein Nasr, 1991:27).

Dalam pesrspektif sufisme, hakekat (realities) dunia ini terdiri dari dua aspek: al-zhahir (lahir, outward) dan al-bathin (batin, inward). Ini sesuai dengan dengan Tuhan yang di dalam al-Qur’an Allah menyebut dirinya sebagai Al-Zahir dan Al-Bathin. Dalam kerangka ini maka bentuk lahiriyah benda-benda bukanlah ilusi belaka; mereka mempunyai hakekat level mereka sendiri. Tetapi ini secara tidak langsung menyatakan adanya gerakan ke arah pemisahan dan pengunduran dari Principle yang ada di “pusat”, yang dapat diidentifikasi sebagai “yang batin”. Hidup pada tataran “lahir” an sich berarti sekedar mensyukuri eksistensi. Merasa puas semata-mata dengan “yang lahir” berarti mengkhianati watak manusia itu sendiri, yang mana ia tercipta dari roh suci yang tidak akan pernah mati. Tujuan eksistensi manusia adalah perjalanan dari outward ke inward, dari pinggiran (periferi) lingkaran eksistensi ke pusat transenden. Demikianlah kurang lebih inti dari pemikiran sufisme menyangkut eksistensi manusia dan arah perjalanannya.

Berdasarkan paradigma itu para pemikir sufisme mengelaborasi dangan sudut pandang masing-masing guna menjelaskan peran yang dapat dimainkan tasawuf. Kaum sufi klasik, sejak dari Al-Muhasibi hingga Al-Ghazali, banyak menyajikan tasawuf sebagai ilmu pembentukan pribadi luhur (akhlaq al-karimah), melalui konsep maqamat. (Media Zainul Bahri, 2005). Para pemimpin tarekat, sejak dari Shaykh Abdul Qadir al-Jilani hingga Syekh Khatib Sambas, lebih banyak mengedepankan fungsi tasawuf sebagai metode praktis mujahadah, riyadhah, muraqabah, dan dzikir, untuk mencapai derajat kedekatan pada Allah. Para pembaru muslim biasanya mengurai peran tasawuf untuk manusia dari perspektif filosofis dengan penekanan yang berbeda-beda. Iqbal memiliki cara pandang yang berbeda dengan Imam Khomeini, demikian juga Murtadha Mutahhari memiliki kacamata yang tidak sama Hossein Nasr.

Berbagai mistisisme telah berkembang mengatasi krisis global kemanusiaan. Karena itu dialog di antara sesama penganut tasawuf, walaupun dari berbagai agama, bisa menyumbangkan wacana untuk berbagai krisis kemanusiaan. Apa yang disebut Hans Kung dengan ''kebutuhan akan Etika global'' tampaknya bisa dipenuhi dengan kerja sama agama-agama, dimulai dari pandangan positif terhadap hal yang paling dasar dari agamanya sendiri --the heart of religion, yaitu hakikat tasawuf itu sendiri, yang bisa mempertemukan berbagai agama. Kalau kita mengamati perkembangan kesadaran mengenai tantangan etika global itu, perkembangan ''tasawuf antar-agama'' memang telah melandasi usaha-usaha bersama mencari sebuah alternatif atas pandangan kebudayaan modern yang mekanistik, sekularistik, ke arah cara pandang yang lebih ekologis dan holistik. Di sini tasawuf bertemu dengan spiritualitas agama-agama yang bersama-sama diharapkan dapat mendorong massa yang kritis untuk melihat dunia ini secara baru.


Daftar Pustaka

Al-Hujwiri, Kasyful Mahjub: Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf, terj. Suwardjo Muthari dan Abdul Hadi WM (Bandung: Mizan, 1994).

Azyumardi Azra, Historiografi Islam Kontemporer (Jakarta: Gramedia, 2002).

George Ritzer, Teori Sosial Postmodern, terj. Muhammad Taufik (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004).

Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 1998).

Media Zainul Bahri, Menembus Tirai Kesendirian-Nya: Menguarai Maqamat dan Ahwal dalam Tradisi Sufi (Jakarta: Prenada, 2005).

Said Agil Siroj, Tasawuf Sebagai Kritik Sosial (Bandung: Mizan, 2006).

Seyyed Hossein Nasr, Sufi Essays (Albany: State University of New York Press, 1991).

Yasraf Amir Piliang, “Fenomena Sufisme di Tengah Masyarakat Posmodern”, Al-Huda, Vol.1, No.2, 2000.

Jumat, 07 November 2008

Sufisme Kota

Tasawuf belakangan ini telah banyak merambah kawasan perkotaan. Sebelumnya, kesan kuat menunjukkan tasawuf itu hanyalah diikuti kaum pedesaan, yang Islamnya kolot. Sekarang malahan kalangan birokrat dan profesional banyak tertarik ke dunia sufisme. Tak heran bila muncul istilah "sufi berdasi", atau istilah sejenis. Jika kita perhatikan sekarang ini banyak ritual-ritual seperti dzikir bersama yang menggema di kota-kota besar. Tidak hanya kota-kota kecil seperti Pekalongan, Gresik, Jombang, Tasikmalaya, tetapi juga kota di besar besar seperti Bandung, Semarang, Surabaya, bahkan Jakarta sebagai kawasan metropolis. Kaum kota tampak sekali merasa haus, bukan secara intelektual, tetapi secara spiritual. Tidak mengherankan jika diantara mereka banyak yang masuk kelompok-kelompok spiritual Islam, pengajian sufi, hingga menjadi pengikut tarekat. Mantan Ketua LIPI, Prof.Dr. Sofyan Tsauri contohnya adalah pengamal Tarekat Qadiriyah wa Naqshabandiyah. Di Bandung ada 2 guru besar yang juga pengikut tarekat. Demikian juga di sejumlah kota lain.
Insitusi tarekat makin kuat karena ditopang oleh masuknya kalangan terdidik dan kelas menengah. Penyebutan kelompok kelas menengah (middle class) ini terutama mengacu dalam segi tingkat ekonomi, status sosial, dan pendidikan. Berbagai fenomena pada masa kini menunjukkan cukup banyak kalangan kelas menengah yang secara sadar masuk menjadi pengamal ajaran suatu tarekat, tentu saja dengan beragam latar belakangnya. Ada faktor psikologis, dalam arti ada keinginan kuat untuk memperdalam pengalaman keagamaan, bukan sebagai pelarian, namun benar-benar tumbuh dari keinginan instrinsiknya. Ada faktor sosial, karena mereka mencari in group yang bisa menegaskan identitas keagamaannya sehingga mampu menjadi daya dukung yang kuat.
Dalam hubungan ini, satu pengakuan penting ditulis oleh H.J. Witteveen, yang juga peminat spiritualitas dan pengagum Hazrat Inayat Khan itu. Dalam bukunya Tasawuf in Action (2004:162), dia mengatakan; “Kita telah melihat bahwa keseimbangan antara aktifitas dan ketenangan yang dapat diberikan oleh praktek spiritual sangatlah penting bagi kesehatan dan daya tahan kita. Dampaknya, keseimbangan ini membantu kita untuk mempertahankan ritme yang tepat. Ritme adalah keseimbangan dalam waktu. Kesehatan kita sangat tergantung pada keteraturan denyut jantung kita dan sirkulasi darah kita. Dan hasil dari pekerjaan kita tergantung juga pada ritme yang tepat dari pikiran dan perasaan kita. Pikiran kita seharusnya tidak berjalan terlalu cepat dari satu ide ke ide lain atau stagnan dalam kekakuan. Dan suasana hati kita seharusnya tidak berubah terlalu cepat. Kita memerlukan ritme yang kreatif. Bekerja dalam ritme tersebut akan membuahkan hasil terindah.
Sebagai mantan Direktur IMF, dia juga mengeksplorasi sisi-sisi mendalam lain yang dapat diperankan sufisme untuk membangun kegiatan perekomian yang menyeimbangan keselarasan keuntungan materi dan keuntunan moral. Menurutnya, keseimbangan adalah konsep yang penting dalam ekonomi, tetapi keseimbangan yang yang terbaik tidak semata-mata dihasilkan dari kepentingan diri yang sempit dari semua partisipan ekonomi. Cita-cita spiritual akan membantu para pekerja di dunia agar tidak terperangkap semata dalam kekuasaan atau keuntungan. Bahkan, dengan tegas dia katakan bahwa tasawuf akan membawa perubahan mendasar dalam pengelolaan sistem-pasar kapitalis, dan ekonomi akan berfungsi dalam pola yang lebih spiritual.

Minggu, 02 November 2008

Café ala Sufi

Tak terbantahkan lagi, café merupakan bagian gaya hidup modern yang ramai di manapun adanya. Di situ orang bisa betah berjam-jam: menikmati aneka minuman pilihan, makanan ringan, dan bisa larut dalam hiburan yang dipentaskan. Merogoh kocek banyak orang tidak peduli, yang penting mereka merasa terhibur dan senang. Satu lagi yang penting, dan itu sudah menjadi rahasia publik, di café pulalah biasanya bisnis dan transaksi seksual berlangsung, lengkap dengan narkobanya. Nah sekarang, apakah semua café demikian? Tentu tidak. Banyak café yang masih murni. Murni dalam menyajikan layanan dan hiburan buat pengunjungnya.

Namun ada satu hal yang menarik, di kalangan kaum sufi, belakangan ini muncul fenomena baru. Mereka juga punya café, antara lain yang baru saja dibuka di ibukota. Namanya "Rumi Café". Berlokasi di Jalan Iskandarsyah yang mengarah ke Kemang, kawasan elite di Jakarta Selatan, ia diharapkan menjadi tempat hangat terbaru untuk kaum belia Ibu Kota. ”Saya berniat menjerat anak muda masuk surga,” kata Arief Hamdani, Presiden Haqqani Sufi Institute of Indonesia. Rumi Café memang bukan seperti café biasa. Tempat ini tidak menyediakan minuman beralkohol. Namun nuansa tenang dan damai langsung menyapa siapa saja yang datang. Hot spot ini digadang-gadang Arief sebagai tempat bertemu, berdiskusi, sekaligus menikmati "sema" atau whirling dervishes, tarian sufi yang berputar-putar itu, yang diperkenalkan Jalaluddin Rumi, sufi agung abad ke-13. Sejumlah buku dan foto tokoh sufi, dipajang berjajar di etalase. Majalah Tempo beberapa pekan lalu memuat informasi ini.

Menurut saya ini adalah terobosan baru yang menarik. Sebab selama ini tasawuf, orang-orang sufi, dan kaum tarekat, dikesankan tidak gaul, alias sering ketinggalan zaman. Langkah Mas Arief di atas patut diacungi jempol. Ia berusaha mendakwahkan tasawuf dengan cara yang popular agar bisa merangkul banyak orang. Bukankah selama ini dakwahnya
orang Islam terlalu kaku dan kurang inovatif? Ketika sufisme mengejawantah ke dalam tata kehidupan café, ia akan menjadi café sufi. Santapan yang dihidangkan adalah bacaan-bacaan keagamaan yang menyentuh jiwa. Minuman yang ditawarkan adalah hiasan-hiasan yang penuh makna. Hiburan yang ditampilkan adalah kegiatan ritual yang menenggelamkan orang pada suasana ketenangan jiwa yang tanpa batas. Model mengemas nilai-nilai agama dalam idiom/budaya modern seperti ini tampaknya menarik untuk dikembangkan lebih jauh.

Senin, 27 Oktober 2008

Fenomena Pesantren Anak-anak

Pesantren sudah cukup dikenal di masyarakat kita karena memang usianya sudah lebih dari dua abad. Institusi Islam inilah yang selama ini banyak menghasilkan Ulama-ulama di tanah air. Seperti banyak diberitakan, di pesantren para santri belajar, mereka tinggal/menetap di situ. Pada umumnya usia santri adalah usia-usia menjelang dewasa, usia-usia 15-25 tahunan. Belum banyak yang diketahui publik bahwa sejauh ini ada pesantren anak-anak, usia santri memang masih sangat muda: 5-12 tahun. Unik bukan? Dimana ada pesantren ini dan bagaimana kehidupan santri cilik di dalamnya?
Pesantren anak-anak memang fenomena baru di tanah air.
Kira-kira tahun 1980-an mulai bermunculan. Yang paling dikenal mula-mula adalah Pesantren anak-anak di Sedayu Gresik. Di kawasan ini lahir dan berkembang model pendidikan anak dengan sistem pesantren layaknya orang dewasa. Kegiatan utama santri adalah mengaji al-Qur’an dan mempraktekkan syariat Islam. Prof. Dr. Imam Bawani (guru besar IAIN Sunan Ampel Surabaya), untuk disertasinya melakukan penelitian tentang fenomena unik pesantren anak ini. Pada perkembangannya, model pesantren ini diadopsi dan dikembangkan di kota lain. Muncullah pesantren anak di Mronjo Blitar, di Badal Kediri, di Jombang, di Krempyang Nganjuk, di Pasuruan, di Ponorogo, di Ngunut Tulungagung, dan di sejumlah tempat lainnya. Lalu bagaimana kehidupan anak-anak di situ? Bukankah mereka masih belum bisa mengurus dirinya?
Santri cilik ya menetap di pesantren, meskipun mereka masih berumur 6 tahun. Di pesantren, anak-anak itu ada yang mendampingi, mengawasi, dan membinanya. Setiap bapak/ibu pengasuh biasanya diserahi tanggungjawab sekitar 5-10 anak. Mereka inilah yang mengontrol anak-anak untuk seluruh aktifitas pada jam-jam shalat, mengaji, makan, bermain, belejar, atau lainnya. Mencuci dan masak adalah pekerjaan tim manajemen pesantren. Jadwal untuk anak-anak biasanya agak longgar, tidak seketat jadwal pada pesantren dewasa.
Di pesantren, anak-anak juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan. Berikut ini saya upload kan pentas gerak-tari Rodhat menjelang acara Wisuda Santri di Pesantren Anak-anak TK/SDI Sunan Giri PPHM Ngunut Tulungagung bulan agustus 2008 lalu. Untuk melihatnya klik tombol play (panah), dan untuk mendengarnya silakan pakai headset:




Mengenai pengajaran dan pendidikan secara umum tetap mengikuti standar yang berlaku. Pada jam-jam sekolah pk.07.00-12.00 anak-anak itu ikut sekolah formal: TK atau SD. Kegiatan khas pesantren yakni mengaji mengambil waktu lain: sehabis subuh, seusai ashar, dan sesudah maghrib. Pada tingkat awal mereka diajari al-Qur’an secara tartil sampai lancar dan
khatam, mengamalkan shalat fardlu, menghafal berbagai doa, hafalan surat Ya Sin dan surat pilihan lainnya, wiridan sesudah shalat fardlu, tahlil, dan baca tulis huruf arab. Ini biasanya ditempuh 2 tahunan, yang diakhiri dengan prosesi Khataman atau Wisuda Santri Cilik. Sesudah itu jika mereka masih ingin tetap di pesantren mereka akan masuk pada tingkatan diniyyah.

Berdasarkan pengamatan saya selama ini, kehidupan anak-anak di pesantren cukup wajar dan normal. Orang tua tidak perlu mencemaskan anak-anaknya. Yang berat adalah pada masa awal melepas sang anak masuk ke pesantren, karena selama dua bulan pertama orang tua tidak boleh menengoknya. Hal itu merupakan masa penyesuaian diri anak dengan kehidupan barunya. Setelah itu semua akan akan berjalan apa adanya. Hasilnya........anak-anak mulai mandiri. Ngajinya mulai lancar, ibadahnya mulai terbangun, pergaulannya luas, akhlaqnya terkontrol, dan pelajaran umumnya pun tidak ketinggalan. Bagus bukan. Anda tertarik? Atau masih penasaran? Atau anda juga punya pengalaman memasukkan sang anak ke pesantren, insya Allah kita bisa berbagai pengalaman. Silakan kontak lewat email saya: ahamiraziz@yahoo.co.id


Jumat, 24 Oktober 2008

Spiritualitas Seni Islami



Apa yang terblesit di benak anda ketika mendengar "Seni Islam"? Mungkin macam-macam bisa disebut: Nasyid, Gambus, Qasidah, Irama Padang Pasir, atau semacamnya. Memang tidak mudah untuk mendefinisikan apa itu seni Islam? Apakah dari sudut pandang penampilan/kostum yang dikenakan pemainnya, jenis alat musiknya, asal usul tradisi musiknya, liriknya, atau apanya. Yang paling penting menurut saya adalah isi yang dipesankan lewat syair-syair itu mampu menggugah gairah keagamaan: mencintai Tuhan dan berbuat baik sesama manusia. Selebihnya kita masih bisa perdebatkan.
Pada kesempatan ini saya hanya ingin berbagai pengalaman. Seni Islami, yang saya kenal sejak kecil adalah Shalawat, Maulid, dan Qasidah dalam berbagai ragamnya. Tampaknya itu sangat berkesan bagi saya. Bacaan-bacaan Maulid yang berbahasa Arab itu memang menjadi icon di pesantren tradisional, komunitas tempat saya dibesarkan. Teks Maulid Nabi itu bermacam-macam, dan yang paling dikenal di masyarakat adalah Al-Dhiba'i, Al-Barzanji, dan Qasidah Burdah, suatu karya sastra yang berisi ajaran-ajaran Islam khususnya tasawuf . Semuanya mendapat sambutan masyarakat luas tidak hanya melalui tulisan dan lisan, tetapi juga melalui lagu yang dibacakan dalam berbagai ritual, acara-acara kemasyarakatan, dan juga direkam.
Qasidah Burdah sebagai karya musik Islam berisi ungkapan keagungan Allah swt, puji-pujian terhadap Nabi Muhammad Saw, dan nasihat-nasihat keagamaan. Bahasa yang digunakan dalam Kasidah Burdah adalah bahasa puisi Arab yang padat makna, yang setiap kata mempunyai makna yang saling berkaitan. Pilihan kata (diksi) yang digunakan oleh penyair disesuaikan dengan rima (persamaan bunyi) dan irama (tinggi-rendah lagu). Setiap kata akhir pada larik kedua mempunyai bunyi yang sama, yaitu mîm, terdapat unsur vokal yang ringan apabila diucapkan. Adapun tema Qasidah Burdah terdiri atas sepuluh tema cerita yang intinya adalah doa dan munâjât kepada Allah swt, disertai rasa rindu, cinta, dan pujian penyair kepada Nabi.
Irama seni Islam dinyanyikan disesuaikan dengan situasinya . Pada setiap event, irama yang terdengar berbeda karena diselaraskan dengan kondisi ruang dan waktu juga dengan situasi pendengar (audiens). Misalnya, apabila Maulid dan Burdah dinyanyikan pada acara ritual keislaman yang resmi digunakan irama yang rendah nadanya, sedangkan pada acara yang bersifat umum (festival), irama yang dinyanyikan terdengar suara tinggi dan menghentak.

Adapun alat musik yang digunakan pada nyanyian Islami bisa berbeda-beda antara penyanyi yang satu dengan yang lain; antara negara satu dengan negara lain; antara daerah satu dengan daerah lain. Hal ini bergantung pada selera penyanyi atau pelantunnya. Misalnya, di Mesir, lagu Qasidah Burdah, dan lagu-lagu Arab lainnya, dilengkapi dengan alat-alat musik khas Arab, seperti ud, durbakke, qânûn, nay, mijwiz, buzuq, dan rikk (www.indo.net.id). Adapun di Indonesia, ”Ar-Raudhah Group”, kelompok musik Kasidah Burdah dari Pesantren Syaykhona Kholil Bangkalan Madura, dan ”Terapi Musik Sufi” dari Pesantren Darussalam Ciamis, menggunakan alat musik lengkap yang terkumpul dalam electone. Ada juga yang tidak menggun alat musik seperti yang dilantunkan oleh Muhammadun Zain dari Semarang, tetapi memakai backsound yang dinyanyikan oleh para santrinya.

Pada perkembangannya seni Islam menyesuaikan dengan kultur setempat, namun pada intinya dari zaman ke zaman senantiasa dapat bertahan dan menyesuaikan diri dengan selera penikmatnya atau konsumennya. Kekuatan seni Islam terletak pada fitur tekstualnya dan makna setiap katanya yang dapat mempengaruhi batin pembaca dan pendengarnya. Menurut saya seni Islam itu tidaklah terbatas pada bentuk-bentuk tradisional seperti yang sebut di muka. Segala seni modern, asalkan bisa membawa pada pendalaman-pengayaan minat keagamaan dan memacu kehidupan umat untuk makin menjadi religius sah-sah saja kita sebut sebagai seni Islami. Hanya saja, kesan saya, dewasa ini banyak seni yang terlalu bebas mengumbar kebebasan seni itu sendiri. Ini karena pengaruh paham era kebebasan yang menjadi "Tuhan" baru bagi manusia modern. Jadinya buat mereka yang suka berkreasi, silakan mengembangkan jiwa-seninya dengan tujuan demi menggapai dan mengembangkan nilai keindahan.

Ya Allah Berkahilah Keluarga Kami

Kita semua tahu, keluarga adalah fondasi terkuat dalam kehidupan. Membangun keluarga bukan hal mudah mengingat di situ beribu macam tantangan, ujian, dan juga peluang. Bahtera keluarga siapapun ingin mendayungnya dengan aman, damai, penuh cinta kasih. Alhamdulillah kami telah dikaruniai dua orang puteri. Nilai-nilai agama amatlah penting dalam hidup ini. Oleh karenanya kami ingin agar suasana itu dapat selalu hadir dalam kehidupan keseharian ini. Seusai shalat kami berusaha untuk selalu istiqamah menghadiahi bacaan Al-Fatihah untuk keluarga, diiringi do'a semoga Allah swt. senantiasa melimpahkan ramhat, taufiq, san hidayah-Nya kepada kami. Kami meyakini sepenuhnya bahwa bacaan Al-Fatihah itu akan mampu menembus relung-relung jiwa sekaligus memperkukuh ikatan batin keluarga yang kami bangun. Semoga saja keberkahan hidup dapat selalu kita raih. Amin.

Jumat, 05 September 2008

Munas Kaum Sufi

Musyawarah Nasional Kaum Sufi 

Istilah Munas (Musyawarah Nasional) sudah sering kita dengar. Yang menyelenggarakan biasanya adalah organisasi sosial atau partai politik. Sudah pasti ramai, seru, dan sering kali terjadi pro-kontra ketika hendak menentukan kebijakan organisasi ke depan, apalagi ketika menentukan ketua umumnya. Sekarang, bagaimana jika sebuah Munas diselenggarakan oleh kaum sufi, sekelompok orang yang kehidupannya banyak beribadah? Seseru apa yang terjadi? Adakah pula makna even tersebut bagi tatanan kehidupan kebangsaan kita?

Belum lama ini, tepatnya tanggal 27-30 Juni 2008 lalu bertempat di Asrama Haji Pondok Gede Jakarta, kaum sufi yang tergabung dalam asosiasi yang bernama JATMAN (Jam’iyyah Ahlith Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyyah) menyelenggarakan Musyawarah Nasional Kubro. Munas ini diikuti oleh sekitar 1200 orang dari berbagai jamaah tarekat yang tergabung dalam JATMAN di seluruh Indonesia. Munas merupakan forum tertinggi setelah muktamar yang bertujuan untuk mengevaluasi berbagai program yang sudah dirancang sebelumnya. Suasana penuh ketenangan dan keteduhan hati sangat tampak dalam forum ini. Para peserta yang sebagian besar memakai baju koko warna putih, dengan tekun mengikuti rangkaian acara. Mereka adalah para kiai dan guru tarekat yang memiliki ribuan jamaah di daerahnya masing-masing. Zikir-zikir panjang dan istighotsah selalu menjadi bagian rutin dalam sholat berjamaah yang diselenggarakan di masjid asrama haji. Lantunan shalawat Nabi dalam bentuk Asyraqalan (syair Qiyamul Maulid) juga acapkali berkumandang, misalnya ketika Presiden SBY memasuki ruangan. Ini membuat suasana semakin religius. Jadi, suasananya seru tapi khidmad, ramai tapi tetap bermakna.

Habib Muhamad Luthfi bin Ali bin Yahya sebagai Rais 'Am (ketua umum), ketika menyampaikan Taushiyah pada saat Khotbah Iftitah mengajak seluruh peserta agar bersatu dan berjuang untuk umat dan juga menjaga keutuhan jam’iyyah thariqoh. Dia mengakui, pada kenyataannya sosialisasi lembaga ini masih lemah, sehingga belum bisa memasyarakatkan thoriqoh dan menthoriqohkan masyarakat. Akibatnya syiar dakwah kethoriqohan tidak berjalan. Pemahaman tentang konsep dalam thariqah adalah konsep tentang pengambilan air dari satu samudra (Sayyidil Wujud), dalam proses pengambilan tersebut ada keterbatasan dalam tempat tampung air dan jarak serta teknik pengambilan airnya. Sehingga ada yang cuma mengambil sedikit demi sedikit, ada yang pengambilannya cepat, ada yang ambilnya banyak dan mudah, ini semua tidak begitu masalah karena tetap berasal dari samudra yang satu yaitu Samudranya Ma’rifat Sayyidil Wujud Muhammad SAW. Yang perlu dicermati juga adalah betapa sangat perlunya pemahaman tentang fiqh (fardlu yang wajib) untuk bekal dalam tatacara ibadah syar’i sebelum memutuskan untuk masuk thariqah, bagi para pemulanya.

Jamaah tarekat merupakan salah satu kelompok yang dikenal sangat solid dan patuh terhadap perintah dari para pemimpinnya, atau Mursyid. Keadaan ini tentu menjadi godaan para politisi untuk memanfaatkannya sebagai lumbung suara. Namun demikian, Habib Lutfi bin Ali Bin Yahya menegaskan organisasi ini tidak boleh digunakan untuk kepentingan politik. Habib Luthfi menghimbau kita juga untuk menjaga keutuhan jam’iyyah Thariqoh khususnya di masa yang penuh gejolak ini dan menyelamatkan ahli thariqoh dari begitu banyaknya kepentingan-kepentingan yang menggoda dan merayu Jam’iyyah thoriqoh. Beliau mengatakan: "Jangan sampai kita mempermalukan para salaf kita dan justru kita harus mampu membuat bangga para salaf…Kita harus menjaga keuntuhan jamaah tarekat dari kepentingan politik. Tetapi jam’iyyah tarekat tidak menghalangi hak individu anggotanya untuk memilih aspirasinya, asal tidak membawa nama jamiyyah, wadah ini harus tetap utuh”.

Menurut saya, forum tersebut sangat baik sebagai konsolidasi internal kaum tarekat. Selama ini tarekat dikenal sebagai "lembaga pendidikan spiritual" yang menggembleng para pengikutnya untuk menjadi muslim yang baik; muslim taat, mampu menyelesaikan masalahnya sendiri, dan bisa menunjukkan kesalehan di hadapan publik. Sikap menjaga jarak dengan kepentingan politik-praktis ini penting, agar tidak semakin terjadi konflik horizontal di tengah masyarakat. Kaum sufi dan institusi tarekatnya dapat menjadi peredam gejolak nafsu politik yang kian tak terbendung.